Kamis, 23 Maret 2023

Selesai dengan Diri Sendiri

 Dulu prinsipku adalah "selesai dengan diriku sendiri" sebelum memulai hubungan. Padahal, aku belum memiliki goals yang jelas mengenai konsep tentang "selesai dengan diri sendiri itu seperti apa. Beruntungnya, aku, ya beruntung dalam hal yang tidak begitu beruntung sebenarnya, yaitu aku 'memiliki kesadaran' bahwa ada yang perlu kuselesaiakan dengan diriku sendiri, mengenai penerimaan diri, satu persatu kuusut, adalah tentang banyak hal. Lalu, kalau diceritakan kembali tentang perjalanan lima tahun terakhir ini, apa yang akhirnya dapat kusimpulkan... ya meski perjalanannya belum berakhir, namun setidaknya, dalam perhentian-perhentian tertentu, ada pemaknaan-pemaknaan tentang bentuk-bentuk penerimaan diri. 

kalau didefinisikan, manusia yang membersamaiku selama lima tahun ini, menjadi salah satu fasilitator yang mumpuni untuk membantuku mencapai fase "penerimaan diri itu", di lain sisi ia juga bisa kusebut sebagai personal counselor, yang menjadi tempat yang cukup waras aku mengilas balik semua luka-luka masa lalu yang secara tidak langsung menghambat dan membuatku berputar-putar disatu-tempat, walau tentu saja masalalu itu tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya, namun aku perlahan menemukan jalan keluar, bahwa tempatku bukan disana. Aku sampai pada kesadaran dimana menerima bukan berati "mengubah dulu seperti yang aku mau, baru aku menerimanya" melainkan apa adanya yang terjadi yang kuterima, dengan tidak memungkirinya, dengan tidak mengelakkannya, itupun cukup untuk disebut sebagai menerima.

kalaupun tampaknya dia hanya membersamai, tapi aku yakin dampaknya cukup besar, tidak terbayangkan tentunya, jika di usia ini, aku belum selesai dengan pergumulanku, aku hanya akan menjadi manusia dewasa dengan kepribadian lontang-lantung yang terjebak di masa lalu. Aku memiliki keberanian untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hidup, karena tau ketika aku jatuh masih ada tempat aku untuk memantul dan bangkit lagi. 

Aku dapat membedakan hitam dan putih dengan jelas, tidak lagi mencari aman dengan menyusuri zona abu-abu yang paling mudah untuk dipilih, aku setiap waktu diingatkan bahwa aku adalah manusia dewasa yang bertanggung jawab sepenuhnya "hanya" pada diriku sendiri.

Jika ditanya aku bahagia atau tidak? Aku masih kesulitan menjawab, Tapi aku merasa penuh. It's one of my fullfilment phase in my life.

Jadi terimakasih untuk manusia yang dengan kesabarannya, menjadi penjaga terdepan di garis-garis kewarasanku. :)


Kamis, 02 Februari 2023

The marriages of my exes

I just notice that this year my ex('es), (they are not that much lol) there are a few exes in my long love life journey who are married nowadays. It's not something sad and full of sorrowful notes that I write to accompany their happy day. I am happy for them, yes, I am. I send them a sincere prayer, attended their wedding ceremony, and even sent them a gift. I'm happy to know that they finally found the right person to share their life with. I'm glad that they found what they deserve because I know they are a good person.

To call them exes feels weird because actually, they are my friend, my high school friend, elementary friend, childhood friend, a friend of my friends, etc. that was ever my lover in my past.

But I do have the fortune to get back as a friend to my exes. To become "friends" again with exes is a choice and I choose to be a friend. I just think that what must be forgotten is not the person, but the bad memories. The "letting go" process is a lesson that has matured me. I choose to keep good memories, thanking them for their presence in the past time that brought happiness to me and their kindness and sincerity.

The process of being a friend – unfriending – in a relationship – breakup – unfriending – and finally being a friend again is very complex. Of course, it was an uneasy journey, let's call it a long and winding journey. To be honest, the separation process never went easy for me. It must be a lot of tears, grief, and unacceptable emotion, psychological breakdown (and one of my breakup stories even brought me to the emergency room, it's my very first breakup). It was a bit sad for me that I never had any proper break-up – or intentional break-up, in other words, the break-up was always one-sided. They were always the ones who want us to break up, not me. At every separation, I always feel dumped and abandoned, because who is ready for that instant separation? I had been lacking in self-confidence for a long time, and I was haunted by the fear of being abandoned every time I wanted to start a new relationship. It brought me to lose some sense of self-worth and self-esteem.

It took time for me to learn, that they just did not mend to be with me, but the process was worth the pain, it grow me fonder. I challenge myself to understand, that the pain is not caused by them, they are not intentionally hurt me. My pain was born from my ego which could not accept separation and grew from a sense of injustice for being abandoned. But, let's say it again, it was me, not them. As I grow up, I realize that holding the pain to have the power to hate them as a way to forget them from my life, is also the way to ruin my life worse. 

One day, after hundreds or even thousands of journals I've written about pain and sorrow after being abandoned so many times, I found my chi – if you know what I mean you must be watched Kungfu Panda. My chi is the power to letting go, specifically about forgiving. Forgive him, forgive what happened and the most important is forgive me. I write them a letter, to ask to apologize for being rude or mean or if in our journey I made a mistake that make them hurt, I thank them for loving me at its best at that time and I sent them sincere prayers for them to be happy in life. Day by day our conversation went well, we follow and follow-back social media to know what happened in life, and we saved contact numbers to send birthday wishes or seasonal greetings.

Skadooosh! I do defeat my past and cherish it as a life lesson.I am proud of my growth, I can let go, detach, and be happy for their happiness. And I intentionally share this self-reflection, in case some of you there haven't made peace with the past, even though it will take time, do it, your life will feel better after you make peace.


Senin, 15 Agustus 2022

Tubuh, ialah Tempat Penyimpan Memori Terbaik

Pagi ini aku duduk kembali di ruang tunggu laboratorium Paviliun Bonaventura, Rumah Sakit Atma Jaya. Sama dengan lima tahun silam, aku duduk disana menunggu giliran medical check-up. Badanku masih mengingat benar suhunya, aku setengah menggigil, dan hari ini aku mengingat  lagi saat itu. Setengah dekade silam, waktu menunggu dipanggil rasanya sangat lama, aku masih seorang Iska yang kemana-mana masih membawa buku catatan dan pena sebagai teman perjalanan. 

Waktu itu aku masih seorang berusia 23 tahun, yang baru lulus dengan banyak masalah dan kebimbangan, diantara banyak keraguan atas berbagai keputusan yang harus kuambil dengan yang merasa sendirian dan ketakutan menghadapi ketidakpastian hidup tetapi tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk memilih mati. Aku mengingat kembali kalimat-kalimat yang kutulis dalam lembaran buku catatanku saat itu sembari menulusuri rasa yang seakan-akan sama.

Kemudian aku mempertanyakan lagi, kenapa setelah lima tahun rasa ini masih ada, setelah dua hal yang kudoakan lima tahun lalu sembari menunggu rontgen thorax sudah terkabul sejak lima tahun lalu. Pekerjaan dan teman hidup. Aku mengingat-ingat kembali sembari mencari alasan untuk bersyukur, atas lima tahun pekerjaan ini boleh menjadi pekerjaanku. Atas kemandirian finansial, yang meskipun masih terseok-seok dan kadang masih belum tercukupkan aku tidak sampai kelaparan. Pekerjaan ini dulu begitu kuinginkan, namun jujur saja, kini aku kehilangan alasan untuk mensyukurinya, kehilangan alasan untuk mempertahankannya. Aku menelusuri kembali apa saja yang kulalui lima tahun ini, bukan pencapaiaanya tentu saja, karena tidak ada. Tapi mungkin saja perjalannannya. Aku terpaku pada apa yang mustinya aku peroleh, apa yang layaknya aku capai, apa yang sudah aku peroleh... tapi tidak atau belum, padahal disisi lain ada banyak hal yang meskipun tak kasat mata, tidak prestise tapi kudapatkan. Ruang bertumbuh juga hal yang berharga, lingkungan yang gembur untuk mengembangkan diri juga berarti, lingkungan yang menyembuhkan juga penting.

Satu lagi entah apa yang membuatku meragukan seseorang yang saat ini menemaniku, padahal waktu itu sungguh sungguh ku doakan, aku meminta hikmat untuk memintanya. Tapi sepertinya belakangan ini aku memandang hubungan kami dengan kurang berhikmat, dengan sudut pandang yang kurang dewasa dan penuh ketidak yakinan. Padahal pernyataannya jelas waktu itu "Jika memang dia untukku, maka perbolehkan kami untuk berjalan bersama-sama. Jika bukan, maka jauhkan, pisahkanlah jalan yang kami tempuh tanpa menyakiti satu sama lain." Jika sampai hari ini kami masih bersama-sama, di jalan dengan tujuan yang sama bukankah jawaban yang pasti bahwa entah hari ini atau lima tahun lalu jawabannya sama. Memiliki teman bertumbuh, sama dengan menjadi pohon kacang yang tumbuh bersama dengan pohon singkong. Saling berbagi nutrisi, dan tumbuh bersama sebagai penjaga dan sebagai penyangga.

Sabtu, 08 Januari 2022

The Pain of being Underestimated

 Kesakitan karena disepelekan?
Seiring bertambahnya usia dan banyaknya orang yang lalu lalang dalam hidupku, akupun belajar bahwa ada beberapa orang yang pedapatnya perlu didengar dan beberapa orang lagi tidak perlu, atau bahkan sebaiknya diabaikan. Semakin kesini, jumlahnya semakin tidak banyak dan orang-orangnya semakin spesifik berdasarkan pendapat yang diperlukan.

Tetapi ada hal yang lupa aku ingat bahwa pandapat orang, adalah sesuatu yang ada di luar kendali kita. Jadi bahkan orang yang menurut kita pendapatnya begitu penting pun bisa jadi memberi pendapat yang mengecewakan atau bahkan menjatuhkan. Rasanya lebih sakit, karena pendapat ini berasal dari seseorang yang selama ini pendapatnya begitu kita perhitungkan.

Tapi sekali lagi, pendapat orang, adalah salah satu dari sekian banyak hal di dunia ini yang diluar kendali kita. Mengingat bahwa kita adalah manusia yang memiliki pemikiran bertumbuh, kepahitan semacam ini hanya harus disembuhkan. Lebih tepatnya, ini adalah urusan antara kita dengan perasaan kita sendiri.

Kecewa? Pasti.
Sakit? Tentu saja.
Tetapi penyelesaiannya bukan dengan orang yang bersangkutan, mencoba memperbaiki keadaan dengan konfrontasi pada kasus ini bukan merupakan jalan keluar. Karena mengubah cara orang berpikir, terlebih opini personalnya tentang kita tentu saja bukan tanggung jawab kita yang berada diluar dirinya. Satu lagi, ini adalah tentang cara berpikir yang memengaruhi perasaan. Terlalu abstrak untuk luruskan pada satu kaidah. Pemikiran dan rasa adalah kedua hal yang sama-sama bebas, sama-sama hanya terikat kepada pemiliknya.

Lepaskan, pertama-tama dari cara kita berpikir bahwa kita sedang disakiti, dengan berpikir bahwa dia tidak sedang menyakiti kita melainkan berperilaku layaknya manusia bebas, bahwa ia hanya sedang berkata-kata berdasarkan kodratnya sebagai manusia yang dipengaruhi oleh banyak hal diluar dirinya, kita sama saja sedang membebaskan diri kita dari perasaan sebagai korban. Kemudian, abaikan perasaan yang sebenarnya adalah prasangka yang sedang bermanifestasi dalam kepedulian, kali ini kepedulian yang sesungguhnya adalah dengan membiarkan. Proses membiarkan ini akan mengantar kita pada kebebasan atas luka-luka yang sejatinya ditimbulkan oleh pemikiran kita  sendiri.


Terakhir: menjadi pulih. Pulih adalah pilihan, jadi dari setiap kesakitan pulih hanya kita yang mampu mengupayakan, berasal dari kesadaran dan kemauan kita sendiri.

Pulihlah!

 

Rabu, 02 Juni 2021

PENCAPAIAN

 Kali ini anak itu berjalan pulang sekolah sepulang sekolah, ia tau yang dia bawa bukan sobekan tengah buku dengan layang layang dan angka satu nol yang ditulis pulpen merah, sudah tidak ada senyum atau usapan rambut dari kakeknya, tapi ia meyakini pasti dari kejahaun meskipun tidak kasat mata, neneknya di rumah menyiapkan secobek nasi among-among pengantar doanya kepada malalaikat pamomong yang menjaga dan mengantar cucunya pulang sekolah, kakak sepupunya tidak lagi mengomelinya ketika ia ditanya 8x6  dan ia menjawab 54, ia hanya memeluknya kencang.

Minggu, 09 Mei 2021

INNER CHILD

 Suatu sore, di sebuah kedai kopi di tepi jalan Sudirman.





Aku mengabadikan ini, sebagai proses yang tidak pernah terlintas dalam angan-anganku sebelumnya. Aku menggunakan akal budiku sepenuh hati untuk mengejar mimpi duniawiku, yang entah atas dasar ego, emosi, tuntutan atau yang selama ini kusamarkan dengan menyebutnya panggilan hidup.

Ada kalanya aku merasa jahat pada diriku sendiri, karena begitu kejam meladeni mimpi-mimpi menyulitkan yang kadang tampak "tidak perlu" susah-susah untuk digapai, untuk apa, tapi aku bersikeras mengejarnya.

Di waktu yang lain aku termenung, menimbang-nimbang, apa iya aku ini manusia tamak yang kurang bersyukur atas apa yang Tuhan karuniakan, aku begitu haus pencapaian, abai pada rasa cukup dan terus mengejar hal-hal yang lebih sulit dan tempat-tempat yang jauh.

Pada waktu tertentu, aku mendapati diriku termenung sambil sesenggukan di sudut ruangan, merasa bersalah tentang bagaimana aku mengutamakan kepentingan diri, lalai pada kebutuhan dan kebahagiaan di sekitar terlebih mereka yang sangat menyayangiku, aku ketakutan setengah mati kalau-kalau aku gagal atau kalau-kalau mereka pergi sebelum aku berhasil.

Setahun ini, hanya aku dan diriku, aku dan kelelahanku, aku dan kurang tidurku, aku dan sakit kepalaku, aku dan keluhanku setiap waktu, rasanya sesak di ulu hati, rasanya gigil di tulang belakangku.

Sore ini aku menemukan inner child-ku yang ketakutan berjalan di jalan aspal panjang sepulang sekolah, panas  kelelahan dan sepi sendirian. Ia kehabisan uang saku untuk jajan kerupuk rambak 50 perak kesukaannya, uang saku koin limaratus rupiah gambar bunga melati itu sudah ditabungnya untuk karya wisata akhir semester, hanya ada botol minum bekas air mineral yang diisi ulang rebusan air sumur di tasnya yang sudah lepas jahitannya dan dikaitkan dengan peniti. Ia berjalan dipinggir, sampai benar-benar menyenggol rumput ditepian dan memakai kaos kaki longgar menutup hingga betisnya, dicecangnya dengan gelang karet supaya tidak melorot ketika dipakai berjalan. Sepatunya bolong di bagian tungkai, sampai rasa aspal panas yang terbakar matahari terasa menyengat telapak kakinya. Ia merasa kikuk, setiap kali dijumpainya orang dijalan merasa iba kepadanya, ia selalu kehilangan kata-kata setiap kali orang yang berpapasan dengannya mengungkapkan keprihatinan kala melihatnya. Iapun mengasihani dirinya sendiri, yang kelahan belajar di sekolah dan kelelahan berjalan jauh sepulang sekolah. Anak sekolah dasar berambut panjang yang kecoklatan karena terbakar matahari itu masih begitu samar melihat masa depannya. Satu hal yang mempercepat langkahnya, hanya robekan tengah buku dengan tanda layang-layang dan angka satu dan nol yang ditulis dengan pulpen merah oleh gurunya yang ingin segera ia tunjukkan pada kakeknya, sekalipun ia tahu itu tidak akan membuatnya dipuji, apalagi diberi hadiah cokelat atau boneka, hanya senyuman tipis atau usapan lembut di rambutnya, tapi itu yang selalu dinantikannya setelah belajar semalaman. Malamnya ia tidak akan dibiarkan pulang oleh kakak sepupunya jika pekerjaan rumahnya belum selesai dan benar-benar paham caranya, terkadang ia menguap puluhan kali, terkadang ia membendung air matan di pelupuk matanya karena kesulitan, tapi kakak sepupunya akan menungguinya sambil menonton siaran ulang sepak bola sampai ia benar-benar bisa.


Datang kembali, anak dengan seragam putih biru, yang begitu kesepian, yang sering kali iri dengan apa yang dimiliki temannya, banyak hal yang tidak bisa ia lakukan banyak sekali hal yang tidak ia punya. Kala anak-anak seusianya tak tau bagaimana untuk tumbuh menjadi remaja, ia bahkan tahu bagaimana mengatasi datang bulan pertamanya dari artikel majalah langganan tantenya, saat remaja perempuan lain dan father figure kelak akan membuatnya mampu memaknai cinta, ia bahkan tak pernah berkomunikasi apa lagi bertemu dengan ayahnya. Saat anak perempuan lain seusianya belajar berdadan, memasak, merenda, memanggang kue bersama ibunya, ibunya bahkan sudah tidak pulang selama dua tahun. Ketika anak lain sedang belajar naik sepeda motor, dan memandang ayah mereka dengan penuh kagum sebagai cinta pertama mereka, ayahnya adalah orang pertama yang membuatnya patah hati. Ia memasuki masa remaja, sendirian, berusaha menemukan pemaknaan dirinya, menggali jati dirinya- sendirian. Ia mulai menyadari bahwa jika tidak dibarengi dengan usaha yang keras kemampuannya tidak seberapa, satu-satunya hal yang membuatnya bertahan hidup bukan makan, tetapi belajar. Dia belajar empat kali lebih keras dari siapapun seusianya, tidur dua tiga sampai empat jam untuk anak berusia 12 tahun atas kemauannya sendiri. Karena lagi-lagi pencapaian akademislah satu-satunya hal yang membuatnya merasa berharga atas dirinya sendiri. Setiap kali kesedihan merayapi perasaannya, ia akan mengunci dirinya dikamar, merapalkan untaian doa seakan satu-satunya entitas yang ia miliki dalam hidupnya hanya Tuhan-nya yang tak kasat mata, ia memeluk dirinya sendiri untuk meredam laranya, ia mengusap air matanya sendiri untuk tetap kuat. Tangisannya tidak jauh-jauh dari sakit gigi atau nilai ulangannya yang jelek padahal ia sudah setengah mati belajar, tapi suatu kali ia menangis tanpa tahu bagaimana mengatasinya, tangisan pertama yang berasal bukan dari kedua alasan yang bisa ia atasi, tangisan atas patah hati pertamanya. Bagaimana kala itu cinta pertamanya memilih anak perempuan lain dikelasnya untuk menjadi pacarnya, satu-satunya hal yang membuatnya belajar bahwa ada hal-hal yang tidak dapat ia kontrol - perasaan orang lain atas dirinya. Beruntung seorang anak perempuan ditempatkan sebangku dengannya, yang begitu penuh kasih memeluknya sebagai seorang sahabat, dan menenangkan meyakinkan dirinya, bahwa ia masih berharga meski tidak mendapatkan cinta pertamanya. Bahwa tidak apa-apa mengeluh saat terluka, tidak apa-apa untuk bersedih dan diketahui orang lain. Ia perlahan belajar bahwa keberhargaannya tidak dinilai hanya oleh satu orang yang dia ingini validasinya atas keberhargaannya. Ia berhasil mengatasi rasa sakit dan lukanya, ia berusaha menjadi dan merasa berharga dengan caranya.

Gadis berambut panjang dengan poni depan berseragam putih abu-abu. Yang sedang mencari jati diri dan perlahan kehilangan makna atas dirinya. Seperti anak remaja seusianya, kontrol terbesar atas dirinya adalah lingkungannya. Ia kehilangan kesejatian dirinya, saat ia ditempatkan bersama orang-orang seusianya yang berkecukupan materi maupun kasih sayang. Saat yang lain sedang mempersiapkan cita-cita, ia begitu gamang dan malah berusaha menemukan makna pulang, rumah dan keluarga- yang begitu bias keberadaannya, yang bagi orang lain seusianya tidak pernah mempertanyakannya. Sekali lagi patah hati membuatnya jatuh, tapi kali ini jatuh yang meruntuhkannya. Ia menjadi perempuan yang takut menangis, takut terliat lemah bahkan oleh dirinya sendiri. Ia tidak memiliki pijakan yang cukup kuat untuk kerapuhannya yang seharusnya adalah keluarganya, ia tidak memiliki hal berharga yang mebuatnya bertahan yang harusnya adalah mimpinya. Dititik ini, setiap hal tampak abu-abu, tentang akan bagaimana dan  harus apa kali ini benar-benar menguar begitu saja, tanpa jawaban. Untuk pertama kalinya, ia membirakan hidupnya tidak lagi dinahkodai oleh ambisinya, oleh cara berpikirnya yang ulung. Ia membiarkannya mengalir, dan tentu saja ini salah untuk anak seusianya yang sedang memiliki banyak energi. Energinya digunakannya untuk menutup luka-luka masalalunya hanya untuk mendapatkan validasi bahwa dirinya baik-baik saja. Nilai akademis bukan lagi hal berharga, pencapaian tidak lagi sesuatu yang membuat dirinya bermakna. Ia tidak lagi tertarik dengan belajar, angka dan kata-kata hanya membuatnya kelelahan tanpa alasan, dan dititik ini ia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan-Nya yang selama ini menajadi belahan hidupnya. Mulai meragukan tentang adanya Entitas tempatnya meminta dan mengeluhkan hidupnya. Masa itu berlalu begitu saja, bahwa pemaknaan persahabatan satu-satunya yang ia anggap berharga pada akhirnya juga kehabisan makna setelah ia tidak lagi tinggal di kota yang sama. Dan lagi-lagi menyadari bahwa satu-satunya yang tetap ada dipihaknya hanya Tuhan dan keyakinannya, yang ia bisa bawa kemana-mana.

Dia tumbuh bertiga bersama teman kostnya, semakin sibuk semakin baik, artinya semakin tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal yang sedang ia pertanyakan. Artinya hidupnya selalu sama, hidup adalah tentang mempertanyakan sesuatu. Ketika ia berhenti mempertanyakan sesuatu, artinya dia sedang kehilangan pemaknaan hidupnya. Hidupnya adalah untuk menjadi sibuk tanpa makna. Sampai ia bertemu dengan seseorang yang menjadi sosok kakak perempuannya, orang dengan mimpi besar dan tahu benar ia siapa dan apa yang ia inginkan dalam hidupmua. Awalnya ia hanya teman seperjalanan, tapi siapa sangka, akhirnya ia yang membuatnya kembali mempertanyakan sesuatu, yaitu jalan hidupnya. Sekalipun ia gamang tentang kebermaknaan hidup, akhirnya ia mulai mencari kembali. 

Ia termenung pagi-pagi sekali, ditepi danau belakang perpustakaan UI, ia belum lulus, belum bekerja dan tak tau pasti sedang ada di fase mana dalam hidupnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mencoba membulatkan tekatnya untuk bunuh diri, meski belum tau pasti bagaimana caranya. Ia merasa tidak ada satupun dari sekian banyak sahabatnya yang mampu mendengarkan atau paham apa yang ia alami atau rasakan. Fase transisi tersulit dalam hidup bahawa rasanya membuat satu keputusan yang salah dalam hidup akan menghancurkan hidupnya selamanya, tidak ada dapat diperbaiki atau memperbaiki. Ia merasa sungguh sendiri, bahkan doa-doa yang ia rapal tidak sampai kemana-mana hanya musnah begitu saja. Hidup tanpa makna, tujuan yang begitu sulit atau bahkan rasanya mustahil untuk dilalui. Ia mengasingkan diri, menjauh dari masalah, dari-orang-teman-orangtua. Dan lagi-lagi rasanya ingin mati saja. Ini adalah fase krisis pertama dalam hidup yang rasanya mustahil dilalui, kegagalan paling pahit, dan ketidak-terbukaan paling sakit. Singkat tapi rasanya seumur hidup.

Seseorang datang mengaku menemukan gadis krisis identitas dengan radar neptunusnya, di sudut toko buku. Lalu dihari-hari berikutnya, ia bukan hanya menemukan buku apa saja yang dibacanya , tapi juga menemukan keseluruhan dirinya. Untuk pertama kalinya, ia menghapus checklist kriteria laki-laki idaman dalam hidupnya, yang membiarkannya sendirian selama 7tahun. Ia membiarkan seseorang membuka luka-lukanya yang ia tutup-tutupi selama hampir seumur hidup. Ia merasa nyaman karena dibiarkan menjadi dirinya sendiri. Perlahan ia kembali menggali keberanian yang ia kubur dalam-dalam, karena ia tahu memiliki pelukan, satu-satunya sumber kekuatan yang ia perlukan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia memiliki keberanian untuk membagi mimpin besarnya dengan orang lain. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan orang lain memberi tahu apa yang sebaiknya ia lakukan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tau rasanya melakukan sesuatu pelan-pelan. Pelan-pelan caranya melihat dunia dan dirinya sendiri berubah, ia merasa berharga karena ada seseorang di sampingnya. Hidupnya kembali bermakna, ketika ia mempunyai tempat untuk membagikan segala hal yang ia pertanyakan. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa cukup, dan bersykur dalam hidupnya. Hidupnya kini bukan sebatas mengejar pencapaian, tapi tau rasanya berpijak pada realitas dan tetap bermimpi sembari menapak bumi. Laki-laki ini bukan seseorang yang sempurna, tapi ia merasa menemukan jiwa yang selama ini ia butuhkan dalam hidup, jiwa yang terus bertumbuh dan pikiran yang terus berkembang, yang ia butuhkan ada disampingnya sehingga ia tetap hidup. Tangan yang merengkuhnya, untuk tau bahwa ia dincintai dan berharga.

Selasa, 02 Juni 2020

Anak



Anak itu sedang bermain dedaunan di halaman rumah, saat aku membuka pagar. Lesung pipi di pipi kanannnya melekuk manis saat ia membalas senyumku, itu lesung pipiku.

Anak itu rambutnya begitu legam, lurus, dipotong pendek. Matanya lebar, bening dan bola matanya berwarna cokelat gelap. Mata yang aku kenal sejak lama. Binarnya sama persis. Ada kepedulian sekaligus ribuan keingintahuan yang begitu dalam saat ia menatapku.

"Ibu." Panggilnya. Ia lalu meninggalkan tumpukan daun dan ranting-ranting yang sedang ia kumpulkan.

Aku memeluknya, rasanya belum enam jam aku meninggalkannya tapi rinduku yang bertumpuk-tumpuk luruh begitu saja saat tangan mungilnya memeluk pinggangku.

"Ibu lelah?" tanyanya, sambil mengambil alih tas jinjingku, lalu menuntunku masuk ke dalam rumah.

Ada yang bergegas membukakanku pintu, memelukku dan mengecup pipiku.

"Sana bersih-bersih dulu, aku baru selesai masak sayur kangkung." sambil mengacak-acak rambutku seperti yang sering dilakukannya  sejak sepuluh tahun lalu.

Aku membalasnya dengan senyuman bangga, seraya menghembuskan napas panjang. Rasanya tidak ada yang berubah, sejak rumah ini belum memiliki tiraipun aku selalu merasa pulang ketika membuka pintunya.