Suatu sore, di sebuah kedai kopi di tepi jalan Sudirman.
Aku mengabadikan ini, sebagai proses yang tidak pernah terlintas dalam angan-anganku sebelumnya. Aku menggunakan akal budiku sepenuh hati untuk mengejar mimpi duniawiku, yang entah atas dasar ego, emosi, tuntutan atau yang selama ini kusamarkan dengan menyebutnya panggilan hidup.
Ada kalanya aku merasa jahat pada diriku sendiri, karena begitu kejam meladeni mimpi-mimpi menyulitkan yang kadang tampak "tidak perlu" susah-susah untuk digapai, untuk apa, tapi aku bersikeras mengejarnya.
Di waktu yang lain aku termenung, menimbang-nimbang, apa iya aku ini manusia tamak yang kurang bersyukur atas apa yang Tuhan karuniakan, aku begitu haus pencapaian, abai pada rasa cukup dan terus mengejar hal-hal yang lebih sulit dan tempat-tempat yang jauh.
Pada waktu tertentu, aku mendapati diriku termenung sambil sesenggukan di sudut ruangan, merasa bersalah tentang bagaimana aku mengutamakan kepentingan diri, lalai pada kebutuhan dan kebahagiaan di sekitar terlebih mereka yang sangat menyayangiku, aku ketakutan setengah mati kalau-kalau aku gagal atau kalau-kalau mereka pergi sebelum aku berhasil.
Setahun ini, hanya aku dan diriku, aku dan kelelahanku, aku dan kurang tidurku, aku dan sakit kepalaku, aku dan keluhanku setiap waktu, rasanya sesak di ulu hati, rasanya gigil di tulang belakangku.
Sore ini aku menemukan inner child-ku yang ketakutan berjalan di jalan aspal panjang sepulang sekolah, panas kelelahan dan sepi sendirian. Ia kehabisan uang saku untuk jajan kerupuk rambak 50 perak kesukaannya, uang saku koin limaratus rupiah gambar bunga melati itu sudah ditabungnya untuk karya wisata akhir semester, hanya ada botol minum bekas air mineral yang diisi ulang rebusan air sumur di tasnya yang sudah lepas jahitannya dan dikaitkan dengan peniti. Ia berjalan dipinggir, sampai benar-benar menyenggol rumput ditepian dan memakai kaos kaki longgar menutup hingga betisnya, dicecangnya dengan gelang karet supaya tidak melorot ketika dipakai berjalan. Sepatunya bolong di bagian tungkai, sampai rasa aspal panas yang terbakar matahari terasa menyengat telapak kakinya. Ia merasa kikuk, setiap kali dijumpainya orang dijalan merasa iba kepadanya, ia selalu kehilangan kata-kata setiap kali orang yang berpapasan dengannya mengungkapkan keprihatinan kala melihatnya. Iapun mengasihani dirinya sendiri, yang kelahan belajar di sekolah dan kelelahan berjalan jauh sepulang sekolah. Anak sekolah dasar berambut panjang yang kecoklatan karena terbakar matahari itu masih begitu samar melihat masa depannya. Satu hal yang mempercepat langkahnya, hanya robekan tengah buku dengan tanda layang-layang dan angka satu dan nol yang ditulis dengan pulpen merah oleh gurunya yang ingin segera ia tunjukkan pada kakeknya, sekalipun ia tahu itu tidak akan membuatnya dipuji, apalagi diberi hadiah cokelat atau boneka, hanya senyuman tipis atau usapan lembut di rambutnya, tapi itu yang selalu dinantikannya setelah belajar semalaman. Malamnya ia tidak akan dibiarkan pulang oleh kakak sepupunya jika pekerjaan rumahnya belum selesai dan benar-benar paham caranya, terkadang ia menguap puluhan kali, terkadang ia membendung air matan di pelupuk matanya karena kesulitan, tapi kakak sepupunya akan menungguinya sambil menonton siaran ulang sepak bola sampai ia benar-benar bisa.
Datang kembali, anak dengan seragam putih biru, yang begitu kesepian, yang sering kali iri dengan apa yang dimiliki temannya, banyak hal yang tidak bisa ia lakukan banyak sekali hal yang tidak ia punya. Kala anak-anak seusianya tak tau bagaimana untuk tumbuh menjadi remaja, ia bahkan tahu bagaimana mengatasi datang bulan pertamanya dari artikel majalah langganan tantenya, saat remaja perempuan lain dan father figure kelak akan membuatnya mampu memaknai cinta, ia bahkan tak pernah berkomunikasi apa lagi bertemu dengan ayahnya. Saat anak perempuan lain seusianya belajar berdadan, memasak, merenda, memanggang kue bersama ibunya, ibunya bahkan sudah tidak pulang selama dua tahun. Ketika anak lain sedang belajar naik sepeda motor, dan memandang ayah mereka dengan penuh kagum sebagai cinta pertama mereka, ayahnya adalah orang pertama yang membuatnya patah hati. Ia memasuki masa remaja, sendirian, berusaha menemukan pemaknaan dirinya, menggali jati dirinya- sendirian. Ia mulai menyadari bahwa jika tidak dibarengi dengan usaha yang keras kemampuannya tidak seberapa, satu-satunya hal yang membuatnya bertahan hidup bukan makan, tetapi belajar. Dia belajar empat kali lebih keras dari siapapun seusianya, tidur dua tiga sampai empat jam untuk anak berusia 12 tahun atas kemauannya sendiri. Karena lagi-lagi pencapaian akademislah satu-satunya hal yang membuatnya merasa berharga atas dirinya sendiri. Setiap kali kesedihan merayapi perasaannya, ia akan mengunci dirinya dikamar, merapalkan untaian doa seakan satu-satunya entitas yang ia miliki dalam hidupnya hanya Tuhan-nya yang tak kasat mata, ia memeluk dirinya sendiri untuk meredam laranya, ia mengusap air matanya sendiri untuk tetap kuat. Tangisannya tidak jauh-jauh dari sakit gigi atau nilai ulangannya yang jelek padahal ia sudah setengah mati belajar, tapi suatu kali ia menangis tanpa tahu bagaimana mengatasinya, tangisan pertama yang berasal bukan dari kedua alasan yang bisa ia atasi, tangisan atas patah hati pertamanya. Bagaimana kala itu cinta pertamanya memilih anak perempuan lain dikelasnya untuk menjadi pacarnya, satu-satunya hal yang membuatnya belajar bahwa ada hal-hal yang tidak dapat ia kontrol - perasaan orang lain atas dirinya. Beruntung seorang anak perempuan ditempatkan sebangku dengannya, yang begitu penuh kasih memeluknya sebagai seorang sahabat, dan menenangkan meyakinkan dirinya, bahwa ia masih berharga meski tidak mendapatkan cinta pertamanya. Bahwa tidak apa-apa mengeluh saat terluka, tidak apa-apa untuk bersedih dan diketahui orang lain. Ia perlahan belajar bahwa keberhargaannya tidak dinilai hanya oleh satu orang yang dia ingini validasinya atas keberhargaannya. Ia berhasil mengatasi rasa sakit dan lukanya, ia berusaha menjadi dan merasa berharga dengan caranya.
Gadis berambut panjang dengan poni depan berseragam putih abu-abu. Yang sedang mencari jati diri dan perlahan kehilangan makna atas dirinya. Seperti anak remaja seusianya, kontrol terbesar atas dirinya adalah lingkungannya. Ia kehilangan kesejatian dirinya, saat ia ditempatkan bersama orang-orang seusianya yang berkecukupan materi maupun kasih sayang. Saat yang lain sedang mempersiapkan cita-cita, ia begitu gamang dan malah berusaha menemukan makna pulang, rumah dan keluarga- yang begitu bias keberadaannya, yang bagi orang lain seusianya tidak pernah mempertanyakannya. Sekali lagi patah hati membuatnya jatuh, tapi kali ini jatuh yang meruntuhkannya. Ia menjadi perempuan yang takut menangis, takut terliat lemah bahkan oleh dirinya sendiri. Ia tidak memiliki pijakan yang cukup kuat untuk kerapuhannya yang seharusnya adalah keluarganya, ia tidak memiliki hal berharga yang mebuatnya bertahan yang harusnya adalah mimpinya. Dititik ini, setiap hal tampak abu-abu, tentang akan bagaimana dan harus apa kali ini benar-benar menguar begitu saja, tanpa jawaban. Untuk pertama kalinya, ia membirakan hidupnya tidak lagi dinahkodai oleh ambisinya, oleh cara berpikirnya yang ulung. Ia membiarkannya mengalir, dan tentu saja ini salah untuk anak seusianya yang sedang memiliki banyak energi. Energinya digunakannya untuk menutup luka-luka masalalunya hanya untuk mendapatkan validasi bahwa dirinya baik-baik saja. Nilai akademis bukan lagi hal berharga, pencapaian tidak lagi sesuatu yang membuat dirinya bermakna. Ia tidak lagi tertarik dengan belajar, angka dan kata-kata hanya membuatnya kelelahan tanpa alasan, dan dititik ini ia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan-Nya yang selama ini menajadi belahan hidupnya. Mulai meragukan tentang adanya Entitas tempatnya meminta dan mengeluhkan hidupnya. Masa itu berlalu begitu saja, bahwa pemaknaan persahabatan satu-satunya yang ia anggap berharga pada akhirnya juga kehabisan makna setelah ia tidak lagi tinggal di kota yang sama. Dan lagi-lagi menyadari bahwa satu-satunya yang tetap ada dipihaknya hanya Tuhan dan keyakinannya, yang ia bisa bawa kemana-mana.
Dia tumbuh bertiga bersama teman kostnya, semakin sibuk semakin baik, artinya semakin tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal yang sedang ia pertanyakan. Artinya hidupnya selalu sama, hidup adalah tentang mempertanyakan sesuatu. Ketika ia berhenti mempertanyakan sesuatu, artinya dia sedang kehilangan pemaknaan hidupnya. Hidupnya adalah untuk menjadi sibuk tanpa makna. Sampai ia bertemu dengan seseorang yang menjadi sosok kakak perempuannya, orang dengan mimpi besar dan tahu benar ia siapa dan apa yang ia inginkan dalam hidupmua. Awalnya ia hanya teman seperjalanan, tapi siapa sangka, akhirnya ia yang membuatnya kembali mempertanyakan sesuatu, yaitu jalan hidupnya. Sekalipun ia gamang tentang kebermaknaan hidup, akhirnya ia mulai mencari kembali.
Ia termenung pagi-pagi sekali, ditepi danau belakang perpustakaan UI, ia belum lulus, belum bekerja dan tak tau pasti sedang ada di fase mana dalam hidupnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mencoba membulatkan tekatnya untuk bunuh diri, meski belum tau pasti bagaimana caranya. Ia merasa tidak ada satupun dari sekian banyak sahabatnya yang mampu mendengarkan atau paham apa yang ia alami atau rasakan. Fase transisi tersulit dalam hidup bahawa rasanya membuat satu keputusan yang salah dalam hidup akan menghancurkan hidupnya selamanya, tidak ada dapat diperbaiki atau memperbaiki. Ia merasa sungguh sendiri, bahkan doa-doa yang ia rapal tidak sampai kemana-mana hanya musnah begitu saja. Hidup tanpa makna, tujuan yang begitu sulit atau bahkan rasanya mustahil untuk dilalui. Ia mengasingkan diri, menjauh dari masalah, dari-orang-teman-orangtua. Dan lagi-lagi rasanya ingin mati saja. Ini adalah fase krisis pertama dalam hidup yang rasanya mustahil dilalui, kegagalan paling pahit, dan ketidak-terbukaan paling sakit. Singkat tapi rasanya seumur hidup.
Seseorang datang mengaku menemukan gadis krisis identitas dengan radar neptunusnya, di sudut toko buku. Lalu dihari-hari berikutnya, ia bukan hanya menemukan buku apa saja yang dibacanya , tapi juga menemukan keseluruhan dirinya. Untuk pertama kalinya, ia menghapus checklist kriteria laki-laki idaman dalam hidupnya, yang membiarkannya sendirian selama 7tahun. Ia membiarkan seseorang membuka luka-lukanya yang ia tutup-tutupi selama hampir seumur hidup. Ia merasa nyaman karena dibiarkan menjadi dirinya sendiri. Perlahan ia kembali menggali keberanian yang ia kubur dalam-dalam, karena ia tahu memiliki pelukan, satu-satunya sumber kekuatan yang ia perlukan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia memiliki keberanian untuk membagi mimpin besarnya dengan orang lain. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan orang lain memberi tahu apa yang sebaiknya ia lakukan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tau rasanya melakukan sesuatu pelan-pelan. Pelan-pelan caranya melihat dunia dan dirinya sendiri berubah, ia merasa berharga karena ada seseorang di sampingnya. Hidupnya kembali bermakna, ketika ia mempunyai tempat untuk membagikan segala hal yang ia pertanyakan. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa cukup, dan bersykur dalam hidupnya. Hidupnya kini bukan sebatas mengejar pencapaian, tapi tau rasanya berpijak pada realitas dan tetap bermimpi sembari menapak bumi. Laki-laki ini bukan seseorang yang sempurna, tapi ia merasa menemukan jiwa yang selama ini ia butuhkan dalam hidup, jiwa yang terus bertumbuh dan pikiran yang terus berkembang, yang ia butuhkan ada disampingnya sehingga ia tetap hidup. Tangan yang merengkuhnya, untuk tau bahwa ia dincintai dan berharga.